Review Novel: Opera Indonesia - Joko Santoso HP
“Novel ini ditulis pada saat Indonesia digerogoti oleh gurita korupsi yang amat dahsyat. Belum tampak titik terang kapan kejahatan luar biasa ini bisa dihalau keluar Nusantara. Dengan menempatkan Bung Hatta sebagai idola, penulisnya masih punya harapan bahwa masa depan Indonesia masih bisa diselamatkan oleh anak-anaknya yang tidak hanyut dalam arus idealisme musiman.” —Ahmad Syafii Maarif, budayawan
Novel fiksi ringan yang ditulis oleh seorang anggota DPR-RI 2004-2009 ini menggambarkan carut-marut korupsi di tingkat atas pemerintahan dari masa ke masa. Walaupun katanya fiksi, namun membaca Novel Opera Indonesia ini seperti membaca sejarah perjuangan atau lebih tepatnya perjalanan politik Indonesia. Apalagi membaca novel sambil diiringi lantunan syair lagu ERK (baca juga: Efek Rumah Kaca - Di Udara: Lagu untuk Munir pejuang HAM), pembaca bisa terhanyut dan merasa berada di antara, di tengah para aktor yang berjuang menyelamatkan Negeri yang bernama Indonesia ini dari kecaman korupsi yang semakin merajalela.
Sehari setelah buku ini kudapatkan dari bazar buku gramedia MM Pontianak, 282 halaman langsung hatam. Dengan berlatar dunia politik Indonesia, dengan ringan novel ini bercerita tentang kehidupan seorang aktivis mahasiswa bernama Broto Dimas atau lebih sering dipanggil Dimas (dalam keluarga) dan dipanggil Bro oleh teman semasa kuliahnya.
Ditulis dengan sudut pandang orang ketiga di dalam cerita. Adalah Jeihan Prakoso atau lebih sering dipanggil Jei, si pencerita dalam cerita. Jei adalah sahabat karib Bro semasa kuliah. Hanya saja kemahasiswaan Jei berakhir dengan status drop out.
Pada dasarnya Bro dan Jei memiliki cita-cita mulia; memberantas korupsi di Indonesia. Cerita dimulai dari Bro yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Mahasiswa, terkenal sangat vokal menyuarakan aspirasi rakyat kecil di depan gedung DPR saat peristiwa Malari, sampai akhirnya ia merasakan bagaimana menjadi tahanan militer.
Sebuah pergulatan ego di tengah konspirasi politik dari sosok seorang negarawan. Meretas wajah lain dari reformasi dan memotret sisi buruk sejumlah aktornya. Kisah tentang keteguhan hati, ketulusan cinta, dan pengorbanan.
“Karya sastra tak jatuh dari langit tetapi tumbuh dari belukar sosial. Novel ini lahir dari kecemasan akan makin mengguritanya korupsi. Pesannya benderang: sapu kotor mustahil mengenyahkan kotoran. Kita butuh pemimpin bersih-kuat—yang kita rindukan, dan belum juga hadir.” —Eep Saefulloh Fatah, pemerhati politik, peminat sastra
“Sebuah karya fiksi humaniora sosial-politik yang memberi pencerahan kepada kami para mahasiswa. Bahwa kita semua berhutang kepada republik ini... dan bahwa untuk menjadi pemimpin dibutuhkan kesediaan yang luar biasa untuk berkorban. Sebuah novel yang patut dibaca oleh anak-anak muda.” —Ethos Naemo, mahasiswa/the next actor
"Perpaduan politik dan teknologi. Ringan. Cocok untuk dibaca aktifis maupun mantan aktifis mahasiswa. Meskipun konflik yang ditimbulkan tidaklah terlalu rumit." - fhiaFT, reader n blogger
Yaa, Novel Opera Indonesia adalah refleksi keprihatinan seorang Joko Santoso HP. Hasil pengamatannya yang intens selama lima tahun berada di Senayan. Pria workholic ini meyakini, bahwa harus ada langkah-langkah drastis untuk menyelamatkan Republik ini. Dan itu hanya mungkin jika kita memiliki Presiden yang tegas dan berani mengambil langkah yang TIDAK POPULER... demi membela nasib rakyat. Tanpa itu, niscaya Republik ini akan berjalan maju ... ke belakang!
Rekomendasi untuk dibaca, kepada mereka yang tetap teguh menjaga idealisme, apa pun situasinya.
Novel fiksi ringan yang ditulis oleh seorang anggota DPR-RI 2004-2009 ini menggambarkan carut-marut korupsi di tingkat atas pemerintahan dari masa ke masa. Walaupun katanya fiksi, namun membaca Novel Opera Indonesia ini seperti membaca sejarah perjuangan atau lebih tepatnya perjalanan politik Indonesia. Apalagi membaca novel sambil diiringi lantunan syair lagu ERK (baca juga: Efek Rumah Kaca - Di Udara: Lagu untuk Munir pejuang HAM), pembaca bisa terhanyut dan merasa berada di antara, di tengah para aktor yang berjuang menyelamatkan Negeri yang bernama Indonesia ini dari kecaman korupsi yang semakin merajalela.
Sehari setelah buku ini kudapatkan dari bazar buku gramedia MM Pontianak, 282 halaman langsung hatam. Dengan berlatar dunia politik Indonesia, dengan ringan novel ini bercerita tentang kehidupan seorang aktivis mahasiswa bernama Broto Dimas atau lebih sering dipanggil Dimas (dalam keluarga) dan dipanggil Bro oleh teman semasa kuliahnya.
Ditulis dengan sudut pandang orang ketiga di dalam cerita. Adalah Jeihan Prakoso atau lebih sering dipanggil Jei, si pencerita dalam cerita. Jei adalah sahabat karib Bro semasa kuliah. Hanya saja kemahasiswaan Jei berakhir dengan status drop out.
Pada dasarnya Bro dan Jei memiliki cita-cita mulia; memberantas korupsi di Indonesia. Cerita dimulai dari Bro yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Mahasiswa, terkenal sangat vokal menyuarakan aspirasi rakyat kecil di depan gedung DPR saat peristiwa Malari, sampai akhirnya ia merasakan bagaimana menjadi tahanan militer.
Sebuah pergulatan ego di tengah konspirasi politik dari sosok seorang negarawan. Meretas wajah lain dari reformasi dan memotret sisi buruk sejumlah aktornya. Kisah tentang keteguhan hati, ketulusan cinta, dan pengorbanan.
“Karya sastra tak jatuh dari langit tetapi tumbuh dari belukar sosial. Novel ini lahir dari kecemasan akan makin mengguritanya korupsi. Pesannya benderang: sapu kotor mustahil mengenyahkan kotoran. Kita butuh pemimpin bersih-kuat—yang kita rindukan, dan belum juga hadir.” —Eep Saefulloh Fatah, pemerhati politik, peminat sastra
“Sebuah karya fiksi humaniora sosial-politik yang memberi pencerahan kepada kami para mahasiswa. Bahwa kita semua berhutang kepada republik ini... dan bahwa untuk menjadi pemimpin dibutuhkan kesediaan yang luar biasa untuk berkorban. Sebuah novel yang patut dibaca oleh anak-anak muda.” —Ethos Naemo, mahasiswa/the next actor
"Perpaduan politik dan teknologi. Ringan. Cocok untuk dibaca aktifis maupun mantan aktifis mahasiswa. Meskipun konflik yang ditimbulkan tidaklah terlalu rumit." - fhiaFT, reader n blogger
Yaa, Novel Opera Indonesia adalah refleksi keprihatinan seorang Joko Santoso HP. Hasil pengamatannya yang intens selama lima tahun berada di Senayan. Pria workholic ini meyakini, bahwa harus ada langkah-langkah drastis untuk menyelamatkan Republik ini. Dan itu hanya mungkin jika kita memiliki Presiden yang tegas dan berani mengambil langkah yang TIDAK POPULER... demi membela nasib rakyat. Tanpa itu, niscaya Republik ini akan berjalan maju ... ke belakang!
Rekomendasi untuk dibaca, kepada mereka yang tetap teguh menjaga idealisme, apa pun situasinya.
Comments
Post a Comment