Pekerja Asing dan Bahasa Indonesia
Diceritakan Dr.Aswandi (Pakar Pendidikan Kalimantan Barat, Dosen FKIP Untan) saat beberapa tahun lalu mengikuti Konferensi Internasional Bahasa Mandarin di Beijing China yang diikuti lebih dari 1500 peserta dan umumnya rektor dari empat benua (sedunia), menghasilkan rekomendasi: “Jika ingin menguasai dunia, kuasailah ekonominya. Jika ingin menguasai ekonomi, kuasailah komunikasinya. Jika ingin menguasai komunikasi, kuasailah bahasanya. Jika ingin menguasai bahasanya, kuasailah bahasa Mandarin, dan jika ingin menguasai bahasa Mandarin, kuasailah budaya China”.
Kemudian dalam bukunya “Benturan Peradaban”, Samuel Hatington menjelaskan pentingnya bahasa bagi kemajuan ekonomi sebuah bangsa. Beliau mencontohkan bahasa dunia yang mengalami kemajuan pesat atau bahasa yang digunakan dan dipelihara banyak orang sepuluh tahun terakhir ini adalah bahasa Mandarin, diikuti bahasa Arab dan bahasa Inggris. Bahasa Mandarin berkembang pesat dan eksist karena terkait dengan kegiatan ekonomi dimana banyak negara telah mengalihkan kiblat ekonominya dari barat ke timur (China dan sekutunya).
Dan PRESIDEN RI Joko Widodo meminta agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing dihapus. Sekretaris Kabinet Promono Anung mengatakan, permintaan Presiden Jokowi tersebut untuk menggenjut iklim investasi di Indonesia, dikutip dari Kompas, 19 September 2015.
Dari tiga fakta di atas, dirasa cukup memberi penjelasan bahwa bahasa adalah penting bagi kemajuan ekonomi. Oleh karena di saat bangsa lain sedang giat-giatnya mempelajari bahasa Indonesia, tidak seharusnya bahasa Indonesia menjadi korban hanya untuk alasan investasi atau alasan ekonomi lainnya.
Jauh lebih penting bahasa sebagai alat komunikasi adalah bahasa sebagai identitas bangsa.
Negara maju di dunia ini selalu terkait dengan identitasnya, yakni kesamaan entitas, baik berupa sifat dan kategori sosial. Di masa lalu identitas disimbolkan secara terbatas, yakni agama dan suku. Sekarang ini dalam masyarakat yang semakin modern, masyarakat dipersatukan melalui berbagai identitas, antara lain bahasa, artinya bahasa adalah identitas bangsa yang dijunjung tinggi karena ia merupakan harga diri sebuah bangsa, seperti Jepang, Francis, Cina, dan Korea.
Diceritakan kembali dalam Opininya "Bahasa Identitas Bangsa" Dr.Aswandi saat beberapa tahun lalu bersama 25 orang tokoh masyarakat Indonesia diundang ke Jepang selama 40 hari guna mempelajari “Perpolisian Masyarakat”. Satu agenda kegiatannya adalah pertemuan dengan Wali kota dan tokoh masyarakat Jepang di Kota Kashiwa. Walikota Kashiwa sebelumnya selama 10 tahun bekerja di kedutaan Jepang di Jakarta, semua anaknya lahir di Jakarta, dan beliau beserta keluarga (istri dan anak-anaknya) sangat pasih berbahasa Indonesia dan menguasai beberapa bahasa daerah, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Sebelum pertemuan resmi dimulai, rombongan diterima di ruang kerjanya, dan beliau menggunakan bahasa Indonesia dan sekali-kali menggunakan bahasa daerah, semua cerita atau pembicaraan beliau dapat diterima dengan jelas. Beliau mengatakan bahwa sehari-hari keluarga mereka di Kashiwa menggunakan bahasa Indonesia, dan tidak menggunakan bahasa Kanji (Jepang). Sejak pertemuan resmi dimulai, sepatah pun beliau tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan menggunakan bahasa Jepang dan dibantu oleh seorang penterjemah yang dibayar mahal dan belum terlalu pasih berbahasa Indonesia sehingga penerimaan terhadap informasi yang beliau sampaikan kurang jelas.
Masih dicerita yang sama, Dr.Aswandi pada waktu itu terpikir mengapa bapak Walikota Kashiwa tidak menggunakan bahasa Indonesia saja. Setelah pertemuan, Dr.Aswandi tanyakan hal tersebut kepada beliau, “Mengapa pada pertemuan tadi bapak tidak menggunakan bahasa Indonesia yang menurut saya komunikasi diantara kita akan lebih efektif?”. Jawab beliau, sejak kecil semua warga masyarakat Jepang harus ditanamkan ke dalam pikirannya, bahwa fungsi bahasa tidak sebatas alat komunikasi, jauh lebih penting bahasa adalah identitas bangsa, dan bahasa terbukti melahirkan, mempersatukan dan memajukan bangsa kami”.
Mendengar penjelasan tersebut, mengapa syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing dihapus?
Kapan penghargaan dan penghormatan terhadap bahasa Indonesia yang telah terbukti mampu mempersatukan bangsanya?
Kemudian dalam bukunya “Benturan Peradaban”, Samuel Hatington menjelaskan pentingnya bahasa bagi kemajuan ekonomi sebuah bangsa. Beliau mencontohkan bahasa dunia yang mengalami kemajuan pesat atau bahasa yang digunakan dan dipelihara banyak orang sepuluh tahun terakhir ini adalah bahasa Mandarin, diikuti bahasa Arab dan bahasa Inggris. Bahasa Mandarin berkembang pesat dan eksist karena terkait dengan kegiatan ekonomi dimana banyak negara telah mengalihkan kiblat ekonominya dari barat ke timur (China dan sekutunya).
Dan PRESIDEN RI Joko Widodo meminta agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing dihapus. Sekretaris Kabinet Promono Anung mengatakan, permintaan Presiden Jokowi tersebut untuk menggenjut iklim investasi di Indonesia, dikutip dari Kompas, 19 September 2015.
Dari tiga fakta di atas, dirasa cukup memberi penjelasan bahwa bahasa adalah penting bagi kemajuan ekonomi. Oleh karena di saat bangsa lain sedang giat-giatnya mempelajari bahasa Indonesia, tidak seharusnya bahasa Indonesia menjadi korban hanya untuk alasan investasi atau alasan ekonomi lainnya.
Jauh lebih penting bahasa sebagai alat komunikasi adalah bahasa sebagai identitas bangsa.
Negara maju di dunia ini selalu terkait dengan identitasnya, yakni kesamaan entitas, baik berupa sifat dan kategori sosial. Di masa lalu identitas disimbolkan secara terbatas, yakni agama dan suku. Sekarang ini dalam masyarakat yang semakin modern, masyarakat dipersatukan melalui berbagai identitas, antara lain bahasa, artinya bahasa adalah identitas bangsa yang dijunjung tinggi karena ia merupakan harga diri sebuah bangsa, seperti Jepang, Francis, Cina, dan Korea.
Diceritakan kembali dalam Opininya "Bahasa Identitas Bangsa" Dr.Aswandi saat beberapa tahun lalu bersama 25 orang tokoh masyarakat Indonesia diundang ke Jepang selama 40 hari guna mempelajari “Perpolisian Masyarakat”. Satu agenda kegiatannya adalah pertemuan dengan Wali kota dan tokoh masyarakat Jepang di Kota Kashiwa. Walikota Kashiwa sebelumnya selama 10 tahun bekerja di kedutaan Jepang di Jakarta, semua anaknya lahir di Jakarta, dan beliau beserta keluarga (istri dan anak-anaknya) sangat pasih berbahasa Indonesia dan menguasai beberapa bahasa daerah, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Sebelum pertemuan resmi dimulai, rombongan diterima di ruang kerjanya, dan beliau menggunakan bahasa Indonesia dan sekali-kali menggunakan bahasa daerah, semua cerita atau pembicaraan beliau dapat diterima dengan jelas. Beliau mengatakan bahwa sehari-hari keluarga mereka di Kashiwa menggunakan bahasa Indonesia, dan tidak menggunakan bahasa Kanji (Jepang). Sejak pertemuan resmi dimulai, sepatah pun beliau tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan menggunakan bahasa Jepang dan dibantu oleh seorang penterjemah yang dibayar mahal dan belum terlalu pasih berbahasa Indonesia sehingga penerimaan terhadap informasi yang beliau sampaikan kurang jelas.
Masih dicerita yang sama, Dr.Aswandi pada waktu itu terpikir mengapa bapak Walikota Kashiwa tidak menggunakan bahasa Indonesia saja. Setelah pertemuan, Dr.Aswandi tanyakan hal tersebut kepada beliau, “Mengapa pada pertemuan tadi bapak tidak menggunakan bahasa Indonesia yang menurut saya komunikasi diantara kita akan lebih efektif?”. Jawab beliau, sejak kecil semua warga masyarakat Jepang harus ditanamkan ke dalam pikirannya, bahwa fungsi bahasa tidak sebatas alat komunikasi, jauh lebih penting bahasa adalah identitas bangsa, dan bahasa terbukti melahirkan, mempersatukan dan memajukan bangsa kami”.
Mendengar penjelasan tersebut, mengapa syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing dihapus?
Kapan penghargaan dan penghormatan terhadap bahasa Indonesia yang telah terbukti mampu mempersatukan bangsanya?
Comments
Post a Comment