Pembelajaran sastra di tingkat SMP/MTs
Pembelajaran sastra di tingkat SMP/MTs saat ini sudah diarahkan pada kegiatan apresiasi sastra. Peserta didik langsung dihadapkan dengan karya sastranya. Tujuan pembelajaran sastra dalam KTSP untuk SMP dan MTs, adalah “...menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia” (BSNP, 2006:110). Standar Kompetensi yang berkaitan dengan sastra untuk kelas VIII, sesuai dengan isi KTSP, adalah:
Sastra berkaitan erat dengan kehidupan bermasyarakat beserta budayanya. Hal ini dapat merangsang peserta didik untuk mengetahui dan mengaitkan peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra dengan kehidupan nyata. Daya tarik karya sastra dapat mengembangkan cipta dan rasa dalam diri peserta didik. Pendapat Rahmanto tersebut dipertegas oleh Noor yang mengemukakan bahwa:
Peserta didik dapat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, merupakan esensi pembelajaran apresiasi sastra. Hal ini sesuai dengan pendapat Boen Oemarjati (dalam Rohmadi dan Slamet Subiyantoro, 2011:69) yang menyatakan bahwa:
Pendapat-pendapat di atas, menjelaskan bahwa betapa pentingnya pembelajaran sastra bagi peserta didik terutama dalam hal pembentukan karakter. Oleh karena itu, guru Bahasa Indonesia tidak boleh mengabaikan pembelajaran sastra. Tuntutan kurikulum, waktu pembelajaran yang relatif sedikit, sarana dan prasarana di sekolah yang tidak memadai memicu guru tidak mengajarkan sastra secara maksimal. Guru dituntut harus kreatif dan inovatif agar pembelajaran sastra tidak membosankan dan tujuan akhirnya tercapai.
Pemilihan bahan pembelajaran juga harus menjadi perhatian guru. Menurut Rahmanto (2004:27), ada tiga aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pembelajaran sastra, yaitu dari sudut bahasa, dari segi kematangan jiwa (psikologi), dan dari sudut latar belakang kebudayaan para peserta didik.
Bahan pembelajaran sastra hendaknya disesuaikan dengan tingkat penguasaan bahasa peserta didik. Bahasa yang terlalu sederhana atau terlalu sulit akan menimbulkan keengganan peserta didik untuk membaca apalagi mengapresiasi karya sastra tersebut.
Peserta didik tingkat SMP dengan usia kurang lebih 13 sampai 16 tahun, menurut Rahmanto (2004:30) termasuk pada tahap realistik. Menurutnya, pada tahap ini peserta didik sudah terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan yang nyata. Oleh karena itu, tingkatan ini lebih menyukai karya sastra khususnya berbentuk prosa (novel) remaja yang populer.
Novel populer lebih disukai usia remaja karena novel jenis ini mengisahkan realitas kehidupan sesuai dengan jamannya. Bahasa yang digunakan dalam novel populer pun tidak terlalu sulit. Berkaitan dengan novel populer akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
Latar belakang budaya peserta didik juga harus dipertimbangkan oleh guru. Biasanya peserta didik akan lebih tertarik pada karya sastra yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka. Apalagi bila tokoh cerita memiliki kesamaan dengan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka atau orang-orang di sekitar mereka. Hal ini senada dengan pendapat Mursell dan Nasution (2006:3) yang mengemukakan bahwa mengajar dikatakan sukses bila mengusahakan agar isi pelajaran bermakna bagi kehidupan anak dan membentuk pribadinya. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat menyesuaikan apa yang diminati oleh peserta didik dan tidak menuntut hal-hal yang di luar jangkauan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didiknya.
Selanjutnya Rahmanto (2004:70 dan 75), mengemukakan bahwa:
Referensi:
“...mengapresiasi pementasan drama; mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan bermain peran; memahami teks drama dan novel; mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui kegiatan menulis kreatif naskah drama; memahami unsur intrinsik novel remaja (asli atau terjemahan) melalui kegiatan diskusi; memahami buku novel remaja asli atau terjemahan) dan antologi puisi; mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas” (BSNP, 2006: 114 - 116).Menurut Rahmanto (2004:16), pembelajaran sastra dapat membantu proses memahami sastra secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Keterampilan berbahasa dapat dilatih dengan membaca sastra, mendengarkan suatu karya sastra yang dibaca, berlatih peran dalam drama, mendiskusikan karya sastra, dan berlatih menulis.
Sastra berkaitan erat dengan kehidupan bermasyarakat beserta budayanya. Hal ini dapat merangsang peserta didik untuk mengetahui dan mengaitkan peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra dengan kehidupan nyata. Daya tarik karya sastra dapat mengembangkan cipta dan rasa dalam diri peserta didik. Pendapat Rahmanto tersebut dipertegas oleh Noor yang mengemukakan bahwa:
Pembelajaran sastra secara langsung ataupun tidak akan membantu peserta didik dalam mengembangkan wawasan terhadap tradisi dalam kehidupan manusia, menambah kepekaan terhadap berbagai problema personal dan masyarakat manusia, dan bahkan sastra pun akan menambah pengetahuan peserta didik terhadap berbagai konsep teknologi dan sains (Noor, 2011:82).Pembelajaran sastra di tingkat SMP, seperti yang sudah dikemukan sebelumnya, sudah diarahkan pada kegiatan apresiasi sastra. Karya sastra dinikmati tidak hanya dengan cara dibaca, tetapi peserta didik diarahkan untuk lebih mendalaminya. Sehubungan dengan kegiatan apresiasi sastra, Wardani (dalam Rohmadi dan Slamet Subiyantoro, 2011:67) mengemukakan bahwa:
Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya sekadar membaca lalu menggemari membaca sastra saja, tetapi pada tahap selanjutnya kegiatan ini diharapkan sampai pada tahap pemahaman karya sastra sehingga nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang melalui karya sastra tersebut dapat dipahami pembaca.Pendapat di atas dipertegas oleh Noor (2011:82) yang mengatakan bahwa pembelajaran sastra tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga akan memberi berbagai manfaat lain bagi peserta didik. Oleh karena itu, pemilihan media belajar dalam hal ini novel sangat penting diperhatikan oleh guru guna tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Peserta didik dapat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, merupakan esensi pembelajaran apresiasi sastra. Hal ini sesuai dengan pendapat Boen Oemarjati (dalam Rohmadi dan Slamet Subiyantoro, 2011:69) yang menyatakan bahwa:
Pembelajaran apresiasi sastra mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman peserta didik dan menjadikannya tanggap terhadap peristiwa sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menumbuhkan, menanamkan, mengembangkan kepekaan terhadap masalah manusiawi, dan mengenalkan rasa hormat terhadap tata nilai baik dalam konteks individual atau sosial.Menurut Noor (2011:38), karya sastra selain sebagai penanaman niai-nilai dan karakter, juga akan merangsang imajinasi kreativitas anak berpikir kritis melalui rasa penasaran akan jalan cerita dan metafora-metafora yang terdapat di dalamnya. Jadi jelaslah, bahwa karya sastra tidak hanya bersifat menghibur, tetapi juga dapat menjadi media belajar dalam pembentukan karakter dengan cara yang menarik.
Pendapat-pendapat di atas, menjelaskan bahwa betapa pentingnya pembelajaran sastra bagi peserta didik terutama dalam hal pembentukan karakter. Oleh karena itu, guru Bahasa Indonesia tidak boleh mengabaikan pembelajaran sastra. Tuntutan kurikulum, waktu pembelajaran yang relatif sedikit, sarana dan prasarana di sekolah yang tidak memadai memicu guru tidak mengajarkan sastra secara maksimal. Guru dituntut harus kreatif dan inovatif agar pembelajaran sastra tidak membosankan dan tujuan akhirnya tercapai.
Pemilihan bahan pembelajaran juga harus menjadi perhatian guru. Menurut Rahmanto (2004:27), ada tiga aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pembelajaran sastra, yaitu dari sudut bahasa, dari segi kematangan jiwa (psikologi), dan dari sudut latar belakang kebudayaan para peserta didik.
Bahan pembelajaran sastra hendaknya disesuaikan dengan tingkat penguasaan bahasa peserta didik. Bahasa yang terlalu sederhana atau terlalu sulit akan menimbulkan keengganan peserta didik untuk membaca apalagi mengapresiasi karya sastra tersebut.
Peserta didik tingkat SMP dengan usia kurang lebih 13 sampai 16 tahun, menurut Rahmanto (2004:30) termasuk pada tahap realistik. Menurutnya, pada tahap ini peserta didik sudah terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan yang nyata. Oleh karena itu, tingkatan ini lebih menyukai karya sastra khususnya berbentuk prosa (novel) remaja yang populer.
Novel populer lebih disukai usia remaja karena novel jenis ini mengisahkan realitas kehidupan sesuai dengan jamannya. Bahasa yang digunakan dalam novel populer pun tidak terlalu sulit. Berkaitan dengan novel populer akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
Latar belakang budaya peserta didik juga harus dipertimbangkan oleh guru. Biasanya peserta didik akan lebih tertarik pada karya sastra yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka. Apalagi bila tokoh cerita memiliki kesamaan dengan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka atau orang-orang di sekitar mereka. Hal ini senada dengan pendapat Mursell dan Nasution (2006:3) yang mengemukakan bahwa mengajar dikatakan sukses bila mengusahakan agar isi pelajaran bermakna bagi kehidupan anak dan membentuk pribadinya. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat menyesuaikan apa yang diminati oleh peserta didik dan tidak menuntut hal-hal yang di luar jangkauan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didiknya.
Selanjutnya Rahmanto (2004:70 dan 75), mengemukakan bahwa:
Pembelajaran sastra yang berbentuk novel, seperti halnya bentuk prosa cerita yang lain memiliki struktur cerita yang dibangun dari unsur-unsur yang dapat didiskusikan, seperti: latar, perwatakan, cerita, teknik cerita, bahasa, tema. Diskusi-diskusi tentang unsur-unsur tersebut dilaksanakan secara berkesinambungan, berawal dari hal-hal yang mudah ke hal-hal yang cukup sulit.Oleh karena itu, sebelum pelaksanaan pembelajaran hendaknya guru merancang dan merencananya dengan baik. Mulai dari pemilihan bahan ajar, media, serta model pembelajaran yang tepat sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Pembelajaran sastra di tingkat SMP/MTs |
Referensi:
- BNSP. 2006. Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah; Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMP/MTs. Jakarta.
- Mursell, J. dan S. Nasution. 2006. Mengajar Dengan Sukses. Jakarta: Bumi Aksara.
- Noor, Rohinah M. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra: Solusi Pendidikan Moral yang Efektif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
- Rahmanto, R. 2004. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta:Kanisius.
- Rohmadi, Muhammad dan Slamet Subiyantoro. 2011. Bunga Rampai: Model-Model Pembelajaran Bahasa, Sastra, dan Seni. Surakarta: Yuma Pustaka.
Terima kasih banyak.
ReplyDelete