Keren!!! “inilah saya” dan “inilah karya saya” Kelirunya Kaum Akademisi oleh Hudan Hidayat
Di penghujung tahun lalu, seakan gemas menyimak arah politik dan polemik sastra yang mengeras, seorang penyair dalam esainya meminta agar kembali kepada teks. Kembali kepada teks, artinya bukanlah menunjukkan ke depan publik “inilah saya”, seperti anggapan orang dengan polemik brutal Saut-Wowok dan Goenawan-TUK. Tetapi “inilah karya saya,” seperti yang terlihat dalam tanggapan balik terhadap Taufiq Ismail cs dalam “polemik sastra pornografi”.
Harapan penyair ini, sepintas mengandung kebenaran yang tegas. Tapi kalau kita simak lebih jauh, “inilah saya,” dan “inilah karya saya”, adalah sesuatu yang berimpit dan niscaya. Karena, “saya” berada di dalam “karya saya”. Dan saya yang sedang melakukan politik sastra atau politik tekstual sastra, bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari “inilah karya saya”. Atau “inilah karya saya” bisa terjadi, atau tak bisa dipisahkan, dari “inilah saya”.
Kenyataan seperti itu, dimaknai Fadlillah Malin Sutan Kayo sebagai “pengarang atau kritikus yang tidak rela melepaskan kekuasaan atas makna karya sastra kepada pembaca”. Padahal masyarakat sudah bergerak ke arah multikultur. Karena itu, menurutnya, telah terjadi perebutan, bahkan tabrakan, kekuasaan atas makna karya sastra.
Darimanakah model pertama, dari cara menampilkan diri “inilah saya?” Tuhan bisa langsung menciptakan manusia tanpa harus mengatakannya. Tetapi toh Dia mengatakannya. “Akan Kuciptakan manusia ke dunia”, kata-Nya. Kata-kata Tuhan ini, adalah model pertama “inilah saya” itu, yang mewujud ke dalam bentuk dialog. Dan respon iblis itu model “konflik pertama”. Maka dialog dan konflik, menjadi paket niscaya dari pihak-pihak yang berkomunikasi.
Karena itu, mengharapkan dunia sepi dari konflik, nyaris mustahil. Sama mustahilnya meminta dunia tanpa dialog. Mematikan dialog terasa tak menghormati ajaran Tuhan, atau menantang Tuhan. Dan kemanakah kita kalau berpaling dari Tuhan? Tak akan kemana, karena kemana pun kau menghadap di sana wajah-Nya juga. “Inilah saya”, oleh Tuhan mewujud ke dalam inilah “karya Saya”, yakni dunia dan isinya. Kau boleh menggunakannya sesuai ajaran Saya. Tetapi ingat, karena “Saya” ada di sana, maka kau harus mengingat Saya dengan menyebut nama Saya. Banyak memuji dan memuliakan diri Saya. Segera terlihat Dia yang ingin “diakui”. Dan Dia yang murka bila “eksistensi-Nya” tak diakui.
Maka Tuhan tak cukup hadir beserta karya-Nya, tapi hadir juga beserta diri-Nya.
Dengan landasan seperti itu, maka saya berpendapat bahwa seni bukan hanya terdedah dalam “kata”. Tapi juga dalam manusia. Sehingga dia menjadi “seni fiksi” dan “seni fakta”. Sehingga sebuah novel bukan hanya mengeram dalam aksara tapi juga mengeram dalam (diri dan ucapan) manusia. Maka novel menjadi manusia yang berjalan. Persambungan semacam ini mengisyaratkan sebuah dialektik: keindahan yang berjalan bolak-balik, antara novel dan pengarangnya.
Dialog dan konflik dalam sastra Indonesia (kini), bisa dipandang sebagai jejak dari seni fiksi dan seni fakta yang sedang memainkan perjalanan bolak-baliknya. Pada titik tertentu, seni fakta itu menjadi seni fiksi. Ia menjadi fiksi yang enak dinikmati (umpama gerak mata Saut dan Wowok yang seolah mengedip nakal, atau senyum Goenawan yang nampak misteri dan intelektual) . Selalu kita bisa mencari atau menemukan sisi-sisi humor dari dunia yang berkonflik. Saya telah menjelaskan filsafat “saya” dan “mengada” dari sumbernya. Tempat saya mengembalikan segala dialog dan konflik.
Karena itu, saya bisa mengerti bila Sutardji Calzoum Bachri tak cukup menuliskan O Amuk Kapak, tapi juga menulis esai. Bisa dikatakan seluruh buku Isyarat adalah manifestasi dari “inilah saya” dalam perspektif “inilah karya saya”. Itu adalah upaya yang wajar. Karena politik tekstual semacam itu, bukan saja dibutuhkan untuk mengawal “saya-nya” Sutardji yang telah terrepsentasi dalam “karya Sutardji”. Tapi ia adalah perwujudan dari seni fakta yang kini menemukan dirinya ke dalam seni esai. Bahkan seni dalam tubuh Sutardji sendiri (seni fakta – tindakannya, ucapannya).
Angkatan 70-an, yang menurutnya telah menyelesaikan Barat dan Timur dalam sastra, tak jemu-jemu disuarakan Sutardji hampir pada seluruh esainya. Tardji seolah hendak menegaskan keberadaan dirinya di dalam tahun-tahun yang memang penuh hingar-bingar pencarian kreatif. Tapi Tadji lupa, di seberang sana ada Ayip Rosidi dan Ramadhan KH, yang juga menggenggam tradisi. Lagi pula bukan hanya angkatan 70-an yang melakukan eksplorasi habis-habisan dalam kesusastraan Indonesia modern, seperti yang hendak diyakinkan Sutardji. Begitu juga saya memaknai, bila seorang Budi Darma menulis Para Pencipta Tradisi. “Marilah kita bayangkan ada seorang pengarang terkemuka bernama Nirdawat”, katanya.
Siapakah Nirdawat? Tidak lain adalah Budi Darma sendiri. Mengapa Budi Darma mengambil ekspose semacam itu? Apakah ia enggan, karena akan menunjukkan Rendra yang dikatakannya sebagai “Pak turut para teater terkemuka di New York?” – “Bangsat! Sesuai dengan dugaan saya, orang yang dianggap dramawan itu menjiplak dari sini”, kata Nirdawat.
Atau saat ia mengatakan ketidakberdayaan Goenawan Mohamad atas tulisan “Portrait of an Artist as a Doddering Man”, yang diejeknya sebagai “Potret Seorang Seniman Sebagai Orang Buyetan”. Dimana “Pintalan kata-kata dan pikiran orang yang dianggap umum sebagai esais di Indonesia itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah bias buku ini”. Tetapi tebaran-tebaran esai Goenawan kemudian toh menunjukkan pencapaian-pencapaiannya sendiri.
Dan apakah kata Budi Darma terhadap dirinya sendiri? “Sebagai seorang pengarang terkemuka, tentu saja Nirdawat sendiri sudah membentuk sebuah tradisi. Dia tahu benar betapa banyak orang yang telah meniru-nirukan tulisannya”. Jadi Budi Darma, melalui metapor Nirdawat ini, telah menunjukkan “inilah saya”, yang sumbernya tidak lain dan tidak bukan, “inilah karya saya”.
Saya menunjukkan penggalan sejarah itu, untuk membuka kedok mereka (tua dan muda) yang seolah bersuara arif, atau meledek, “Menulis sajalah. Biarkan orang lain yang akan menilai karyamu.” Atau yang sering dikatakan mereka dengan (seolah) elegan: setelah karya lahir, maka sang pengarang pun meninggal. Karena, mereka yang berkata seperti itu, ternyata menyelundupkan juga “inilah diri saya” ke dalam esai-esainya.
Karena itu, saya ingin mengajak berhentilah menjadi “narsiskus malu-malu”.
Membicarakan “inilah saya” bukanlah narsis. Tapi menjadi kelanjutan dari “inilah karya saya” yang sering menjadi deadlock di dalam dunia kritik sastra, karena belum hidupnya tradisi dialog, atau karena macam-macam ambisi di dalamnya “yang tak ada hubungan sama sekali dengan klaim pemikiran: upaya untuk mencari atau menemukan kebenaran. Dan dengan perspektif inilah saya membaca peluncuran buku puisi Nirwan Dewanto baru-baru ini, yang lengkap dengan sebuah pernyataan bolak-balik antara “inilah karya saya” dengan “inilah saya”, seperti terbaca di dalam “buku kecil” sebagai properti dalam acara peluncuran buku puisi itu.
Saya mengatakan itu, tidak dalam perspektif yang dipakai Kayo (pengarang dan kritikus yang tidak rela melepas kekuasaan atas makna sastra), tapi sebagai “mengawal makna sastra”, yang menjadi implikasi logis dari seseorang yang sedang menunjukkan dirinya secara eksistensial: mereka yang berada dalam dunia, dan mereka yang menafsirkan dunia yang menghidupi mereka.
Tapi makna sastra, meski sang pengarang atau kritikus “mengawalnya”, telah diambil alih oleh pembaca, sebagaimana dikatakan Kayo. Dan pembaca sastra Indonesia, bisalah dikatakan sebagai cermin aliran-aliran politik di Indonesia yang terkenal itu.
Karena itu bisa dijelaskan, setelah periode ledakan “Saman” dan “Supernova”, dunia sastra kini sedang diserang wabah “Laskar Pelangi” dan “Ayat-Ayat Cinta”. Sebuah wabah yang, mungkin, telah mencengkam benak seorang Sutardji dengan kata-kata: sehebat-hebat karya sastra, dia tak akan punya arti kalau tidak hebat pula dalam pencapaian pada pembaca. Tapi, siapa pembaca yang dimaksud Sutardji itu? Orang banyak yang selama ini terasing dari sastra, atau orang banyak yang mengerti sastra tapi bersepakat terhadap suatu pencapaian karya sastra?
Kayo menghendaki masyarakat sastra multikultural yang santun, saling menghargai pendapat orang lain. Hemat saya, tulisan dengan semangat membela Taufiq Ismail itu, adalah tulisan yang bersiasat dalam logikanya: di satu pihak ia meneriakkan kata santun, menerima dan membenarkan kenyataan aliran kesusastraan, bahwa kebenaran juga adalah milik orang lain, bukan milik kita sendiri. Tapi bersamaan itu, cara ia mengungkap data jelas mengarah atau menunjuk kepada sebuah aliran – aliran “sastra pornografi”.
Dengan “melupakan” Taufiq Ismail yang melansir istilah Gerakan Syahwat Merdeka, Fiksi alat Kelamin, maka “santun” yang dimaksud Kayo adalah kekasaran metodologi dalam penyajian data. Santun di sana seolah sebuah kehendak untuk mengesankan pembaca tulisannya, bahwa sang sastrawan, atau aliran yang sedang jadi objek tulisannya, ditempatkan dalam keadaan “bersalah atau tertuduh”.
Ketidakimbangan data dari kedua belah pihak yang berpolemik (Taufiq menyebutnya “polemik-polemikan”, tapi masyarakat menyambutnya antusias, bahkan di dunia maya ada yang menyebutnya sebagai hidupnya kembali pertarungan “sekularisme Nurcholis Madjid” tahun 70-an lapangan sastra) telah menggugurkan “santun” yang dikehendaki Kayo, ke dalam suatu ketimpangan arus data yang tidak “santun”.
Bagi saya tak mengapa. Tapi, Sutan Kayo sebagai warga dari sebuah komunitas akademis (dosen sastra Andalas), yang tak juga beranjak dari penanggap polemik sastra pornografi sebelumnya (berpendapat ada “sastra seks”), tanpa pembuktian akademis, telah melakukan pembalikan spirit dunia ilmu. Sikap ini, bagi saya telah ikut mematikan ilmu itu sendiri.
Tetapi perspektif “inilah saya” dan “inilah karya saya” ada batasnya. Meskipun ia bagian dari cara mengada yang mendapatkan pembenaran sebagai sesuatu niscaya, seperti di dunia politik orang bertarung untuk memperebutkan kekuasaan politik, atau di dunia lain melakukan rekayasa untuk menguakkan konvensi alam, sehingga menjadi sebuah teori yang bisa menjinakkan alam, maka saat batas itu dilanggar, alam yang sudah berhasil dijinakkan itu justru menjadi bumerang. Kalau sudah begitu, bukan kemudahan yang didapat manusia saat batas dilanggar tapi bencana alam. Kerusakan seperti yang terus menerus kita saksikan selama ini, adalah contoh nyata dari pelanggaran batas itu.
Agaknya batas-batas itu, baru-baru ini telah dilanggar di bidang sastra. Adalah penghargaan Mastera kepada Ayu Utami, menunjukkan pelanggaran batas itu. Sudah menjadi rahasia umum di publik sastra, bahwa kedua orang juri di dalam penghargaan Mastera (Sapardi Djoko Damano dan Putu Wijaya), dekat atau dalam lingkaran ide dan kekuasaan dengan Goenawan Mohamad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ayu Utami dengan Saman-nya adalah sebuah karya “kolaborasi” TUK yang dikomandani Goenawan Mohamad. Dan sudah menjadi rahasia umum pula, bahwa Taufiq Ismail, adalah orang yang sangat berperan dan berpengaruh di lingkaran Mastera sebagai wakil dari Indonesia.
Pelanggaran ini, bagi saya memperlihatkan sebuah fenomena yang menarik. Seolah saya melihat di sini pertarungan atau perdamaian dua aliran sastra. Yakni sastra yang berkiblat kepada moral yang datang dari agama yang diwakili oleh Taufiq Ismal di satu pihak, dan sastra yang diwakili oleh kebebasan ekspresi tanpa harus dikekang oleh moral agama di pihak lainnya, yang dalam ajang penghargaan Mastera ini diwakili oleh Ayu Utami dengan Saman-nya.
Taufiq Ismail, sebagai orang yang sangat berperanan di dalam Mastera, tentulah secara ideologis tidak akan membiarkan Ayu Utami yang, sepanjang tahun 2007, bersama pengarang-pengarang lain, telah diklaimnya sebagai pembawa sastra dengan semangat “Fiksi Alat Kelamin”.
Bagaimana mungkin “Fiksi Alat Kelamin” bisa menang di dalam ajang penghargaan Mastera ini? Pertanyaan ini, tentulah membawa kita pada sebuah pertanyaan lain: apakah peran Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya dalam penghargaan itu?
Kalau peranan Sapardi dan Putu Wijaya berjalan normal di dalam ajang penghargaan ini, maka sebuah kesimpulan yang paradoks harus kita terima sebagai sebuah kenyataan, yakni bahwa ajang penghargaan Mastera itu, adalah sebuah ajang yang sangat toleran kepada segenap aliran-aliran sastra, termasuk sasta dengan pendekatan “fiksi alat kelamin” seperti yang diintrodusir oleh Taufiq Ismail. Kesimpulan ini nampaknya dikuatkan oleh fakta di lapangan, yakni saat Pusat Bahasa memberikan penghargaan pula kepada novel Ayat-Ayat Cinta sebagai sebuah novel yang telah berhasil menggugah masyarakat untuk membaca karya sastra.
Tetapi kalau peranan Sapardi dan Putu Wijaya berjalan dengan tidak normal, sudah cukup alasankah bagi kita untuk sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa telah terjadi pelanggaran batas terhadap filsafat “inilah saya” dan “inilah karya saya” yang sesungguhnya amatlah manusiawi itu? Pelanggaran yang menyempit pada satu arah: novel Saman. Dan mengapa harus novel Saman? Bagaimana mengujinya dari perspektif kritik sastra, dalam deretan novel atau pengarang yang lain?
Jakarta, 4/1-22/4 2008 - Hudan Hidayat
Sumber: indonesiasastra.org
Harapan penyair ini, sepintas mengandung kebenaran yang tegas. Tapi kalau kita simak lebih jauh, “inilah saya,” dan “inilah karya saya”, adalah sesuatu yang berimpit dan niscaya. Karena, “saya” berada di dalam “karya saya”. Dan saya yang sedang melakukan politik sastra atau politik tekstual sastra, bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan, dari “inilah karya saya”. Atau “inilah karya saya” bisa terjadi, atau tak bisa dipisahkan, dari “inilah saya”.
Kenyataan seperti itu, dimaknai Fadlillah Malin Sutan Kayo sebagai “pengarang atau kritikus yang tidak rela melepaskan kekuasaan atas makna karya sastra kepada pembaca”. Padahal masyarakat sudah bergerak ke arah multikultur. Karena itu, menurutnya, telah terjadi perebutan, bahkan tabrakan, kekuasaan atas makna karya sastra.
Darimanakah model pertama, dari cara menampilkan diri “inilah saya?” Tuhan bisa langsung menciptakan manusia tanpa harus mengatakannya. Tetapi toh Dia mengatakannya. “Akan Kuciptakan manusia ke dunia”, kata-Nya. Kata-kata Tuhan ini, adalah model pertama “inilah saya” itu, yang mewujud ke dalam bentuk dialog. Dan respon iblis itu model “konflik pertama”. Maka dialog dan konflik, menjadi paket niscaya dari pihak-pihak yang berkomunikasi.
Karena itu, mengharapkan dunia sepi dari konflik, nyaris mustahil. Sama mustahilnya meminta dunia tanpa dialog. Mematikan dialog terasa tak menghormati ajaran Tuhan, atau menantang Tuhan. Dan kemanakah kita kalau berpaling dari Tuhan? Tak akan kemana, karena kemana pun kau menghadap di sana wajah-Nya juga. “Inilah saya”, oleh Tuhan mewujud ke dalam inilah “karya Saya”, yakni dunia dan isinya. Kau boleh menggunakannya sesuai ajaran Saya. Tetapi ingat, karena “Saya” ada di sana, maka kau harus mengingat Saya dengan menyebut nama Saya. Banyak memuji dan memuliakan diri Saya. Segera terlihat Dia yang ingin “diakui”. Dan Dia yang murka bila “eksistensi-Nya” tak diakui.
Maka Tuhan tak cukup hadir beserta karya-Nya, tapi hadir juga beserta diri-Nya.
Dengan landasan seperti itu, maka saya berpendapat bahwa seni bukan hanya terdedah dalam “kata”. Tapi juga dalam manusia. Sehingga dia menjadi “seni fiksi” dan “seni fakta”. Sehingga sebuah novel bukan hanya mengeram dalam aksara tapi juga mengeram dalam (diri dan ucapan) manusia. Maka novel menjadi manusia yang berjalan. Persambungan semacam ini mengisyaratkan sebuah dialektik: keindahan yang berjalan bolak-balik, antara novel dan pengarangnya.
Dialog dan konflik dalam sastra Indonesia (kini), bisa dipandang sebagai jejak dari seni fiksi dan seni fakta yang sedang memainkan perjalanan bolak-baliknya. Pada titik tertentu, seni fakta itu menjadi seni fiksi. Ia menjadi fiksi yang enak dinikmati (umpama gerak mata Saut dan Wowok yang seolah mengedip nakal, atau senyum Goenawan yang nampak misteri dan intelektual) . Selalu kita bisa mencari atau menemukan sisi-sisi humor dari dunia yang berkonflik. Saya telah menjelaskan filsafat “saya” dan “mengada” dari sumbernya. Tempat saya mengembalikan segala dialog dan konflik.
Karena itu, saya bisa mengerti bila Sutardji Calzoum Bachri tak cukup menuliskan O Amuk Kapak, tapi juga menulis esai. Bisa dikatakan seluruh buku Isyarat adalah manifestasi dari “inilah saya” dalam perspektif “inilah karya saya”. Itu adalah upaya yang wajar. Karena politik tekstual semacam itu, bukan saja dibutuhkan untuk mengawal “saya-nya” Sutardji yang telah terrepsentasi dalam “karya Sutardji”. Tapi ia adalah perwujudan dari seni fakta yang kini menemukan dirinya ke dalam seni esai. Bahkan seni dalam tubuh Sutardji sendiri (seni fakta – tindakannya, ucapannya).
Angkatan 70-an, yang menurutnya telah menyelesaikan Barat dan Timur dalam sastra, tak jemu-jemu disuarakan Sutardji hampir pada seluruh esainya. Tardji seolah hendak menegaskan keberadaan dirinya di dalam tahun-tahun yang memang penuh hingar-bingar pencarian kreatif. Tapi Tadji lupa, di seberang sana ada Ayip Rosidi dan Ramadhan KH, yang juga menggenggam tradisi. Lagi pula bukan hanya angkatan 70-an yang melakukan eksplorasi habis-habisan dalam kesusastraan Indonesia modern, seperti yang hendak diyakinkan Sutardji. Begitu juga saya memaknai, bila seorang Budi Darma menulis Para Pencipta Tradisi. “Marilah kita bayangkan ada seorang pengarang terkemuka bernama Nirdawat”, katanya.
Siapakah Nirdawat? Tidak lain adalah Budi Darma sendiri. Mengapa Budi Darma mengambil ekspose semacam itu? Apakah ia enggan, karena akan menunjukkan Rendra yang dikatakannya sebagai “Pak turut para teater terkemuka di New York?” – “Bangsat! Sesuai dengan dugaan saya, orang yang dianggap dramawan itu menjiplak dari sini”, kata Nirdawat.
Atau saat ia mengatakan ketidakberdayaan Goenawan Mohamad atas tulisan “Portrait of an Artist as a Doddering Man”, yang diejeknya sebagai “Potret Seorang Seniman Sebagai Orang Buyetan”. Dimana “Pintalan kata-kata dan pikiran orang yang dianggap umum sebagai esais di Indonesia itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah bias buku ini”. Tetapi tebaran-tebaran esai Goenawan kemudian toh menunjukkan pencapaian-pencapaiannya sendiri.
Dan apakah kata Budi Darma terhadap dirinya sendiri? “Sebagai seorang pengarang terkemuka, tentu saja Nirdawat sendiri sudah membentuk sebuah tradisi. Dia tahu benar betapa banyak orang yang telah meniru-nirukan tulisannya”. Jadi Budi Darma, melalui metapor Nirdawat ini, telah menunjukkan “inilah saya”, yang sumbernya tidak lain dan tidak bukan, “inilah karya saya”.
Saya menunjukkan penggalan sejarah itu, untuk membuka kedok mereka (tua dan muda) yang seolah bersuara arif, atau meledek, “Menulis sajalah. Biarkan orang lain yang akan menilai karyamu.” Atau yang sering dikatakan mereka dengan (seolah) elegan: setelah karya lahir, maka sang pengarang pun meninggal. Karena, mereka yang berkata seperti itu, ternyata menyelundupkan juga “inilah diri saya” ke dalam esai-esainya.
Karena itu, saya ingin mengajak berhentilah menjadi “narsiskus malu-malu”.
Membicarakan “inilah saya” bukanlah narsis. Tapi menjadi kelanjutan dari “inilah karya saya” yang sering menjadi deadlock di dalam dunia kritik sastra, karena belum hidupnya tradisi dialog, atau karena macam-macam ambisi di dalamnya “yang tak ada hubungan sama sekali dengan klaim pemikiran: upaya untuk mencari atau menemukan kebenaran. Dan dengan perspektif inilah saya membaca peluncuran buku puisi Nirwan Dewanto baru-baru ini, yang lengkap dengan sebuah pernyataan bolak-balik antara “inilah karya saya” dengan “inilah saya”, seperti terbaca di dalam “buku kecil” sebagai properti dalam acara peluncuran buku puisi itu.
Saya mengatakan itu, tidak dalam perspektif yang dipakai Kayo (pengarang dan kritikus yang tidak rela melepas kekuasaan atas makna sastra), tapi sebagai “mengawal makna sastra”, yang menjadi implikasi logis dari seseorang yang sedang menunjukkan dirinya secara eksistensial: mereka yang berada dalam dunia, dan mereka yang menafsirkan dunia yang menghidupi mereka.
Tapi makna sastra, meski sang pengarang atau kritikus “mengawalnya”, telah diambil alih oleh pembaca, sebagaimana dikatakan Kayo. Dan pembaca sastra Indonesia, bisalah dikatakan sebagai cermin aliran-aliran politik di Indonesia yang terkenal itu.
Karena itu bisa dijelaskan, setelah periode ledakan “Saman” dan “Supernova”, dunia sastra kini sedang diserang wabah “Laskar Pelangi” dan “Ayat-Ayat Cinta”. Sebuah wabah yang, mungkin, telah mencengkam benak seorang Sutardji dengan kata-kata: sehebat-hebat karya sastra, dia tak akan punya arti kalau tidak hebat pula dalam pencapaian pada pembaca. Tapi, siapa pembaca yang dimaksud Sutardji itu? Orang banyak yang selama ini terasing dari sastra, atau orang banyak yang mengerti sastra tapi bersepakat terhadap suatu pencapaian karya sastra?
Kayo menghendaki masyarakat sastra multikultural yang santun, saling menghargai pendapat orang lain. Hemat saya, tulisan dengan semangat membela Taufiq Ismail itu, adalah tulisan yang bersiasat dalam logikanya: di satu pihak ia meneriakkan kata santun, menerima dan membenarkan kenyataan aliran kesusastraan, bahwa kebenaran juga adalah milik orang lain, bukan milik kita sendiri. Tapi bersamaan itu, cara ia mengungkap data jelas mengarah atau menunjuk kepada sebuah aliran – aliran “sastra pornografi”.
Dengan “melupakan” Taufiq Ismail yang melansir istilah Gerakan Syahwat Merdeka, Fiksi alat Kelamin, maka “santun” yang dimaksud Kayo adalah kekasaran metodologi dalam penyajian data. Santun di sana seolah sebuah kehendak untuk mengesankan pembaca tulisannya, bahwa sang sastrawan, atau aliran yang sedang jadi objek tulisannya, ditempatkan dalam keadaan “bersalah atau tertuduh”.
Ketidakimbangan data dari kedua belah pihak yang berpolemik (Taufiq menyebutnya “polemik-polemikan”, tapi masyarakat menyambutnya antusias, bahkan di dunia maya ada yang menyebutnya sebagai hidupnya kembali pertarungan “sekularisme Nurcholis Madjid” tahun 70-an lapangan sastra) telah menggugurkan “santun” yang dikehendaki Kayo, ke dalam suatu ketimpangan arus data yang tidak “santun”.
Bagi saya tak mengapa. Tapi, Sutan Kayo sebagai warga dari sebuah komunitas akademis (dosen sastra Andalas), yang tak juga beranjak dari penanggap polemik sastra pornografi sebelumnya (berpendapat ada “sastra seks”), tanpa pembuktian akademis, telah melakukan pembalikan spirit dunia ilmu. Sikap ini, bagi saya telah ikut mematikan ilmu itu sendiri.
Tetapi perspektif “inilah saya” dan “inilah karya saya” ada batasnya. Meskipun ia bagian dari cara mengada yang mendapatkan pembenaran sebagai sesuatu niscaya, seperti di dunia politik orang bertarung untuk memperebutkan kekuasaan politik, atau di dunia lain melakukan rekayasa untuk menguakkan konvensi alam, sehingga menjadi sebuah teori yang bisa menjinakkan alam, maka saat batas itu dilanggar, alam yang sudah berhasil dijinakkan itu justru menjadi bumerang. Kalau sudah begitu, bukan kemudahan yang didapat manusia saat batas dilanggar tapi bencana alam. Kerusakan seperti yang terus menerus kita saksikan selama ini, adalah contoh nyata dari pelanggaran batas itu.
Agaknya batas-batas itu, baru-baru ini telah dilanggar di bidang sastra. Adalah penghargaan Mastera kepada Ayu Utami, menunjukkan pelanggaran batas itu. Sudah menjadi rahasia umum di publik sastra, bahwa kedua orang juri di dalam penghargaan Mastera (Sapardi Djoko Damano dan Putu Wijaya), dekat atau dalam lingkaran ide dan kekuasaan dengan Goenawan Mohamad. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ayu Utami dengan Saman-nya adalah sebuah karya “kolaborasi” TUK yang dikomandani Goenawan Mohamad. Dan sudah menjadi rahasia umum pula, bahwa Taufiq Ismail, adalah orang yang sangat berperan dan berpengaruh di lingkaran Mastera sebagai wakil dari Indonesia.
Pelanggaran ini, bagi saya memperlihatkan sebuah fenomena yang menarik. Seolah saya melihat di sini pertarungan atau perdamaian dua aliran sastra. Yakni sastra yang berkiblat kepada moral yang datang dari agama yang diwakili oleh Taufiq Ismal di satu pihak, dan sastra yang diwakili oleh kebebasan ekspresi tanpa harus dikekang oleh moral agama di pihak lainnya, yang dalam ajang penghargaan Mastera ini diwakili oleh Ayu Utami dengan Saman-nya.
Taufiq Ismail, sebagai orang yang sangat berperanan di dalam Mastera, tentulah secara ideologis tidak akan membiarkan Ayu Utami yang, sepanjang tahun 2007, bersama pengarang-pengarang lain, telah diklaimnya sebagai pembawa sastra dengan semangat “Fiksi Alat Kelamin”.
Bagaimana mungkin “Fiksi Alat Kelamin” bisa menang di dalam ajang penghargaan Mastera ini? Pertanyaan ini, tentulah membawa kita pada sebuah pertanyaan lain: apakah peran Sapardi Djoko Damono dan Putu Wijaya dalam penghargaan itu?
Kalau peranan Sapardi dan Putu Wijaya berjalan normal di dalam ajang penghargaan ini, maka sebuah kesimpulan yang paradoks harus kita terima sebagai sebuah kenyataan, yakni bahwa ajang penghargaan Mastera itu, adalah sebuah ajang yang sangat toleran kepada segenap aliran-aliran sastra, termasuk sasta dengan pendekatan “fiksi alat kelamin” seperti yang diintrodusir oleh Taufiq Ismail. Kesimpulan ini nampaknya dikuatkan oleh fakta di lapangan, yakni saat Pusat Bahasa memberikan penghargaan pula kepada novel Ayat-Ayat Cinta sebagai sebuah novel yang telah berhasil menggugah masyarakat untuk membaca karya sastra.
Tetapi kalau peranan Sapardi dan Putu Wijaya berjalan dengan tidak normal, sudah cukup alasankah bagi kita untuk sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa telah terjadi pelanggaran batas terhadap filsafat “inilah saya” dan “inilah karya saya” yang sesungguhnya amatlah manusiawi itu? Pelanggaran yang menyempit pada satu arah: novel Saman. Dan mengapa harus novel Saman? Bagaimana mengujinya dari perspektif kritik sastra, dalam deretan novel atau pengarang yang lain?
Jakarta, 4/1-22/4 2008 - Hudan Hidayat
Kelirunya Kaum Akademisi |
Comments
Post a Comment