Kesusastraan
Istilah “kesusastraan” dalam bahasa Melayu/Indonesia mengandung makna yang sama dengan istilah “literature” dalam bahasa Inggris. Etimologi, pembentukan dan perubahan referensinya juga melalui jalur yang sama. Kata “literature” dalam bahasa Inggris diturunkan dari kata “literatura” dalam bahasa Latin, yang diturunkan dari kata “litera” yang berarti huruf/abjad alfabet tunggal. Dalam bentuk aslinya, “literatura” merupakan terjemahan bagi istilah “grammatika” dalam bahasa Yunani, yang diturunkan dari “gramma”, yang artinya sebuah huruf tunggal. Istilah “literature” pertama kali diterapkan pada tata bahasa (grammar) dan puisi. Seorang “literatus” adalah orang yang tahu tentang tata bahasa dan puisi. Dalam penggunaannya secara modern di Eropa, “literature” merujuk bukan hanya pada tata bahasa dan puisi; ia juga merujuk pada semua yang tertulis, termasuk bentuk-bentuk ucapan yang tertulis. Walaupun demikian, seiring perkembangannya dalam berbagai macam bahasa di Eropa, istilah-istilah lain pun ditetapkan untuk membedakan tipe-tipe tulisan yang beragam. Misalnya, dalam bahasa Jerman, “scrifftum” merujuk pada semua bahan yang tertulis, sementara “dichtung” terbatas pada fiksi, esai, dan tulisan imajinatif, yang dianggap memiliki nilai kreatif, artistik, dan estetis. Dalam bahasa Belanda, “letterkunde” digunakan untuk menerjemahkan pengertian umum yang sama dengan “dichtung”, sementara “literature” digunakan untuk bahan-bahan yang tersimpan di dalam perpustakaan, esai atau bahkan buku-buku akademik, sebagaimana “literatuur” dalam bahasa Jerman. Hal yang sama terdapat juga dalam bahasa Perancis: istilah “belle-lettres” digunakan dengan referensi spesifik pada tulisan yang memiliki nilai estetik. Istilah ini juga dipinjam oleh bahasa Inggris, dan merujuk pada karya-karya yang memiliki nilai kreatif, imajinatif, dan estetik. Dengan kata lain, ia digunakan untuk merujuk pada karya-karya yang secara umum cenderung dipandang sebagai “sastra” yang sebenarnya.
Selanjutnya, Mat Piah et.al. (2002: 2) menerangkan bahwa “Kesusastraan” dalam bahasa Melayu/Indonesia diturunkan dari kata “sastra” dalam bahasa Sansekerta. Kata dasar “sas-”adalah kata kerja, yang berarti menunjukkan, mengajarkan, membimbing atau memberikan perintah. Akhiran “-tra” secara umum merujuk pada alat atau perkakas untuk melakukan sesuatu. Jadi, “sastra” mengandung makna alat untuk memberikan instruksi, buku bimbingan, buku rujukan atau buku teks. “Silpasastra”, misalnya, merujuk pada buku tentang arsitektur. “Kavyasastra” tentang puisi (“kavi”); dan “Kamasastra” tentang seni bercinta. A. Teeuw (1984: 22-23) menegaskan bahwa kata “sastra” (atau “sastera”) menurunkan kata “susastra” (atau “susastera”). Prefiks “su-” juga merupakan kata dalam bahasa Sansekerta; yang mengandung makna baik atau indah. Dengan demikian, “susastra” memiliki makna yang sama dengan “belle-lettres” dalam bahasa Perancis dan “dichtung” dalam bahasa Jerman. Istilah ini merujuk pada karya-karya yang memiliki nilai estetik. Istilah ini ditemukan juga dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa, yang memberikan petunjuk bahwa kata ini berasal dari periode akhir dalam perkembangan bahasa-bahasa di kepulauan Asia Tenggara, atau ”Nusantara”.
Jelaslah bahwa “kesusastraan” diturunkan dari “sastra” dalam bahasa Sansekerta yang telah mendapatkan prefiks “su”. Afiks “ke-” dan “-an”, yang ditempatkan pada awal dan akhir kata tersebut, memberikan pengertian abstrak tentang keutuhan dan kesatuan. “Kesusastraan” merujuk pada teks-teks tertulis yang memiliki nilai artistik atau estetik dan dimaksudkan untuk memberikan bimbingan, arahan, dan instruksi.
Dengan demikian, “kesusastraan” (“literature”) dapat diartikan menurut penggunaannya secara modern di Eropa dan digunakan untuk merujuk pada teks yang tertulis.
Namun, dalam penggunaannya di Eropa, “literature” cenderung merujuk hanya pada teks tertulis dan tidak memberikan tempat bagi kesusastraan lisan, yang tentu saja menjadikan cakupan istilah ini sangat terbatas. Istilah “kesusastraan” akan lebih baik jika mencakup kesusastraan rakyat (folk literature) dan kesusastraan oral atau lisan. Namun, harus diingat pula bahwa istilah “kesusastraan lisan” sendiri terlalu sempit dan membingungkan: “lisan” berkaitan dengan bahan yang tak tertulis, sedangkan “kesusastraan” berkaitan dengan semua yang tertulis (Muhammad dalam Mat Piah et.al., 2002: 4). Muhammad Haji Saleh (2000) menelusuri perkembangan istilah kesusastraan yang dimulai dari istilah “susastra” dalam bahasa Sanskerta. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), Saleh menemukan bahwa kesusastraan dapat berarti:
Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki pelbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan isi dan ungkapannya; ragam sastra yang umum dikenali ialah roman, cerita pendek, drama, epik, dan lirik hasil seni dalam bentuk prosa dan puisi. (Saleh, 2000: 13-14)
Namun, makna istilah kesusatraan yang dikenal pada masa modern baru mulai berkembang pada dekade 1930-an, dengan diperkenalkannya makna baru ini oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam ruangan “Memajukan Kesusastraan” di majalah Panji Pustaka dan kemudian diteruskan pada 1933 dalam majalah Pujangga Baru. Pujangga Baru sendiri secara terbuka membubuhkan moto yang berbunyi “Majalah Kesusasteraan dan Bahasa dan Kebudayaan Umum”. Menurut Saleh (Saleh, 2000: 14-15), makna yang hampir serupa digunakan juga oleh L.K. Bohang ketika mengkritik puisi Amir Hamzah, penyair senior J.E. Tatengkeng dalam salah satu esainya, dan terus digunakan dalam Pokok dan Tokoh (Teeuw, 1951) serta Beberapa Pahaman Angkatan ‘45 karya Aoh K. Hadimadja.
Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan istilah-istilah lain yang terkait dengan kesusastraan Melayu, yaitu “pustaka” atau “pestaka” (library), “karangan” (gubahan), dan “ikat-ikatan”. Dalam bahasa Sansketera, pustaka adalah istilah umum yang merujuk pada buku. Namun, dalam bahasa Melayu klasik, pustaka atau pestaka biasanya digunakan untuk merujuk pada kutukan, hujatan, mantera sihir, dan guna-guna atau jampi-jampi. Frase “membuka pustaka” di dalam beberapa hikayat merujuk pada perapalan suatu mantera atau guna-guna atau membuka sebuah kitab istimewa untuk meramal. Namun, pengertian yang sampai sekarang masih bertahan dalam bahasa Melayu (dan juga dalam bahasa Indonesia) masih mencakup pengertian tentang buku, baik dalam daftar buku-buku tentang sebuah pokok bahasan yang khusus (“kepustakaan”, atau bibliografi) maupun himpunan buku (“perpustakaan”, yang juga berarti perpustakaan sebagai tempat penyimpanan buku (Teeuw, 1984: 21-24).
Mat Piah et.al. (2002: 3) menjelaskan bahwa istilah “karangan” merujuk pada sebuah karya tulis yang indah atau tulisan yang mempunyai nilai sastrawi. Istilah ini juga dapat bermakna “komposisi” atau “esai” (kata kerja “karang” sendiri mengandung pengertian menyusun sesuatu, misalnya bunga atau manik-manik, dengan cara yang indah). Istilah ini juga diterapkan bagi kesusastraan secara keseluruhan. Istilah “karangan” juga menurunkan beberapa istilah lain, misalnya, “karangan berangkap”. Sedangkan Saleh (2000: 15-16) menerangkan bahwa istilah persuratan yang merujuk pada makna yang sama dengan “kesusastraan” banyak digunakan di Malaysia sebelum Perang Dunia II, terutama oleh Za‘ba ketika menulis buku-buku bahasanya di Maktab Perguruan Sultan Idris dan sewaktu menjabat sebagai Ketua Jabatan Pengajian Melayu, Universiti Malaya, Singapura. Sejak akhir 1950-an, istilah “karangan” dan “persuratan” digunakan secara bergantian.
MelayuOnline.com sebagai sumber berita ini menggunakan istilah “kesusastraan” untuk merujuk pada semua bentuk ekspresi bahasa yang memiliki struktur, termasuk yang berbentuk oral atau lisan. Istilah “kesusastraan” dapat merujuk pada semua bentuk ekspresi verbal, baik yang tertulis maupun lisan. Istilah ini mencakup juga semua teks yang estetis, yang diniatkan untuk dinikmati melalui kegiatan menyimak atau membaca.
Dalam penulisannya, “kesusastraan” sering pula ditulis sebagai “kesusasteraan” (dengan “e”). Namun perbedaan ini tidak signifikan karena hanya disebabkan oleh perbedaan konvensi penulisan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu/Malaysia. Sehingga, kedua cara penulisan tersebut dapat digunakan secara bergantian dengan referensi dan makna yang sama.
Sumber: MelayuOnline.com
Selanjutnya, Mat Piah et.al. (2002: 2) menerangkan bahwa “Kesusastraan” dalam bahasa Melayu/Indonesia diturunkan dari kata “sastra” dalam bahasa Sansekerta. Kata dasar “sas-”adalah kata kerja, yang berarti menunjukkan, mengajarkan, membimbing atau memberikan perintah. Akhiran “-tra” secara umum merujuk pada alat atau perkakas untuk melakukan sesuatu. Jadi, “sastra” mengandung makna alat untuk memberikan instruksi, buku bimbingan, buku rujukan atau buku teks. “Silpasastra”, misalnya, merujuk pada buku tentang arsitektur. “Kavyasastra” tentang puisi (“kavi”); dan “Kamasastra” tentang seni bercinta. A. Teeuw (1984: 22-23) menegaskan bahwa kata “sastra” (atau “sastera”) menurunkan kata “susastra” (atau “susastera”). Prefiks “su-” juga merupakan kata dalam bahasa Sansekerta; yang mengandung makna baik atau indah. Dengan demikian, “susastra” memiliki makna yang sama dengan “belle-lettres” dalam bahasa Perancis dan “dichtung” dalam bahasa Jerman. Istilah ini merujuk pada karya-karya yang memiliki nilai estetik. Istilah ini ditemukan juga dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa, yang memberikan petunjuk bahwa kata ini berasal dari periode akhir dalam perkembangan bahasa-bahasa di kepulauan Asia Tenggara, atau ”Nusantara”.
Jelaslah bahwa “kesusastraan” diturunkan dari “sastra” dalam bahasa Sansekerta yang telah mendapatkan prefiks “su”. Afiks “ke-” dan “-an”, yang ditempatkan pada awal dan akhir kata tersebut, memberikan pengertian abstrak tentang keutuhan dan kesatuan. “Kesusastraan” merujuk pada teks-teks tertulis yang memiliki nilai artistik atau estetik dan dimaksudkan untuk memberikan bimbingan, arahan, dan instruksi.
Dengan demikian, “kesusastraan” (“literature”) dapat diartikan menurut penggunaannya secara modern di Eropa dan digunakan untuk merujuk pada teks yang tertulis.
Namun, dalam penggunaannya di Eropa, “literature” cenderung merujuk hanya pada teks tertulis dan tidak memberikan tempat bagi kesusastraan lisan, yang tentu saja menjadikan cakupan istilah ini sangat terbatas. Istilah “kesusastraan” akan lebih baik jika mencakup kesusastraan rakyat (folk literature) dan kesusastraan oral atau lisan. Namun, harus diingat pula bahwa istilah “kesusastraan lisan” sendiri terlalu sempit dan membingungkan: “lisan” berkaitan dengan bahan yang tak tertulis, sedangkan “kesusastraan” berkaitan dengan semua yang tertulis (Muhammad dalam Mat Piah et.al., 2002: 4). Muhammad Haji Saleh (2000) menelusuri perkembangan istilah kesusastraan yang dimulai dari istilah “susastra” dalam bahasa Sanskerta. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), Saleh menemukan bahwa kesusastraan dapat berarti:
Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki pelbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan isi dan ungkapannya; ragam sastra yang umum dikenali ialah roman, cerita pendek, drama, epik, dan lirik hasil seni dalam bentuk prosa dan puisi. (Saleh, 2000: 13-14)
Namun, makna istilah kesusatraan yang dikenal pada masa modern baru mulai berkembang pada dekade 1930-an, dengan diperkenalkannya makna baru ini oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam ruangan “Memajukan Kesusastraan” di majalah Panji Pustaka dan kemudian diteruskan pada 1933 dalam majalah Pujangga Baru. Pujangga Baru sendiri secara terbuka membubuhkan moto yang berbunyi “Majalah Kesusasteraan dan Bahasa dan Kebudayaan Umum”. Menurut Saleh (Saleh, 2000: 14-15), makna yang hampir serupa digunakan juga oleh L.K. Bohang ketika mengkritik puisi Amir Hamzah, penyair senior J.E. Tatengkeng dalam salah satu esainya, dan terus digunakan dalam Pokok dan Tokoh (Teeuw, 1951) serta Beberapa Pahaman Angkatan ‘45 karya Aoh K. Hadimadja.
Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan istilah-istilah lain yang terkait dengan kesusastraan Melayu, yaitu “pustaka” atau “pestaka” (library), “karangan” (gubahan), dan “ikat-ikatan”. Dalam bahasa Sansketera, pustaka adalah istilah umum yang merujuk pada buku. Namun, dalam bahasa Melayu klasik, pustaka atau pestaka biasanya digunakan untuk merujuk pada kutukan, hujatan, mantera sihir, dan guna-guna atau jampi-jampi. Frase “membuka pustaka” di dalam beberapa hikayat merujuk pada perapalan suatu mantera atau guna-guna atau membuka sebuah kitab istimewa untuk meramal. Namun, pengertian yang sampai sekarang masih bertahan dalam bahasa Melayu (dan juga dalam bahasa Indonesia) masih mencakup pengertian tentang buku, baik dalam daftar buku-buku tentang sebuah pokok bahasan yang khusus (“kepustakaan”, atau bibliografi) maupun himpunan buku (“perpustakaan”, yang juga berarti perpustakaan sebagai tempat penyimpanan buku (Teeuw, 1984: 21-24).
Mat Piah et.al. (2002: 3) menjelaskan bahwa istilah “karangan” merujuk pada sebuah karya tulis yang indah atau tulisan yang mempunyai nilai sastrawi. Istilah ini juga dapat bermakna “komposisi” atau “esai” (kata kerja “karang” sendiri mengandung pengertian menyusun sesuatu, misalnya bunga atau manik-manik, dengan cara yang indah). Istilah ini juga diterapkan bagi kesusastraan secara keseluruhan. Istilah “karangan” juga menurunkan beberapa istilah lain, misalnya, “karangan berangkap”. Sedangkan Saleh (2000: 15-16) menerangkan bahwa istilah persuratan yang merujuk pada makna yang sama dengan “kesusastraan” banyak digunakan di Malaysia sebelum Perang Dunia II, terutama oleh Za‘ba ketika menulis buku-buku bahasanya di Maktab Perguruan Sultan Idris dan sewaktu menjabat sebagai Ketua Jabatan Pengajian Melayu, Universiti Malaya, Singapura. Sejak akhir 1950-an, istilah “karangan” dan “persuratan” digunakan secara bergantian.
MelayuOnline.com sebagai sumber berita ini menggunakan istilah “kesusastraan” untuk merujuk pada semua bentuk ekspresi bahasa yang memiliki struktur, termasuk yang berbentuk oral atau lisan. Istilah “kesusastraan” dapat merujuk pada semua bentuk ekspresi verbal, baik yang tertulis maupun lisan. Istilah ini mencakup juga semua teks yang estetis, yang diniatkan untuk dinikmati melalui kegiatan menyimak atau membaca.
Dalam penulisannya, “kesusastraan” sering pula ditulis sebagai “kesusasteraan” (dengan “e”). Namun perbedaan ini tidak signifikan karena hanya disebabkan oleh perbedaan konvensi penulisan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu/Malaysia. Sehingga, kedua cara penulisan tersebut dapat digunakan secara bergantian dengan referensi dan makna yang sama.
Sumber: MelayuOnline.com
Comments
Post a Comment