Tumbangnya Media Cetak di Era Digital dan Apakah Jurnalisme Data menjadi TREND di Masa Depan?
Dalam riwayatnya, media cetak telah ikut mewarnai perubahan dan revolusi di belahan dunia. Salah satu tinta emas yang ditorehkan pers cetak adalah kehebatan jurnalisnya dalam melaporkan reportase investigasi. Membongkar praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan yang terorganisir, sistematis dan merugikan banyak orang. Sepanjang abad ke-20, reportase jenis ini telah ikut mempercepat perubahan-perubahan penting di banyak negara. [jaring.id]
Namun kini, media cetak sudah hampir tamat riwayatnya. Sejumlah majalah dengan nama-nama besar tumbang, bahkan sudah tinggal namanya saja. Tidak sedikit yang tutup diam-diam, tanpa pamit kepada pembaca setianya. Banjir informasi di media digital telah menghantam tiras sebagian besar media cetak. Arus migrasi pembaca media cetak ke media digital kian membesar. Ini telah lebih dulu terjadi di Amerika dan Eropa.
Apakah internet membunuh jurnalisme?
Era digital yang memunculkan media online berikut perubahan budaya masyarakat dalam mengonsumsi berita mempengaruhi artikel-artikel media yang menurut Fagin (profesor jurnalisme di New York University) kini "banyak sekali yang sangat buruk hanya untuk mengejar hits".
Di dunia maya, seyogianya media hadir membawa kebenaran obyektif di tengah keriuhan informasi yang serba tidak pasti di media sosial. Seiring dengan banjirnya data/informasi di internet yang kerap disebut big data telah memicu perkembangan alat (media) untuk menganalisis dan menafsirkan data/informasi.
Media memiliki peranan sangat penting bagi masyarakat. Media harus menyampaikan cinta dan kebenaran. Demikian pula Ilham Khoiri (harian Kompas) menyebutkan bahwa media yang baik adalah media yang memiliki watak untuk mencerahkan publik. Oleh karena itu, kehadiran media dan jurnalisme yang baik masih sangat dibutuhkan. Internet tidak akan pernah membunuh jurnalisme, justru menyempurnakan jurnalisme.
Bagaimana rupa jurnalisme masa depan, terutama di Indonesia? Apa yang terjadi pada profesi wartawan dan media? Bahkan lebih mendasar, apakah jurnalisme masih akan tetap ada?
Seperti dikutip dari kompas.com Sejumlah jurnalis dan pengajar jurnalisme yang hadir dalam WCSJ 2015 mengungkapkan bahwa dengan adanya banyak data sekaligus pelatihan mengolah data, jurnalisme data akan dan harus berkembang di semua negara.
Jurnalisme data menjadi lebih sophisticated seiring dengan banjirnya data di internet kerap disebut big data, yang memicu perkembangan tools untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Analisisnya akan bergantung pada kejelian terhadap angka dan kemahiran menggunakan tools pada komputer.
Steve Doig (Knight Chair in Journalism, ahli di bidang Computer-asisted reporting) percaya bahwa jurnalisme berbasis data memungkinan jurnalis untuk melampaui berbagai anekdot dan menyandarkan liputannya pada fakta dan bukti. Menggunakan data untuk melakukan peliputan, seseorang bisa melihat titik terbaik—hal paling ilustratif dari cerita tertentu.
Jurnalisme data memberikan banyak peluang mulai dari pencarian berita, investigasi, hingga penyajian berita yang lebih kreatif interaktif. Salah satu contohnya adalah laporan berjudul "Do No Harm" yang dilakukan Las Vegas Sun. Tahun 2010, Las Vegas Sun menelaah lebih dari 2,9 juta data billing rumah sakit. Dari proses itu, terkuak lebih dari 3.600 data cedera yang bisa dicegah, infeksi, serta kesalahan dalam proses operasi. Dari data tersebut, Las Vegas Sun mengungkap fakta mencengangkan tentang kesalahan tindakan di rumah sakit. Ada lebih dari 300 kasus di mana pasien meninggal akibat kesalahan tindakan yang sebenarnya bisa dicegah.
Jurnalisme data bukan hanya berguna untuk peliputan sains dan teknologi, melainkan juga kasus kriminal maupun korupsi. Kualitas dan larisnya berita pada masa depan tak cuma bergantung pada kemampuan wartawan mengejar narasumber dan mendapatkan kutipan nendang, tetapi juga kejelian membaca data dan kemahiran menggunakan komputer dengan tools pintarnya untuk mendapatkan fakta wow dari data.
Apakah jurnalisme data itu akan menjadi tren di masa depan?
Referensi:
Namun kini, media cetak sudah hampir tamat riwayatnya. Sejumlah majalah dengan nama-nama besar tumbang, bahkan sudah tinggal namanya saja. Tidak sedikit yang tutup diam-diam, tanpa pamit kepada pembaca setianya. Banjir informasi di media digital telah menghantam tiras sebagian besar media cetak. Arus migrasi pembaca media cetak ke media digital kian membesar. Ini telah lebih dulu terjadi di Amerika dan Eropa.
Apakah internet membunuh jurnalisme?
Era digital yang memunculkan media online berikut perubahan budaya masyarakat dalam mengonsumsi berita mempengaruhi artikel-artikel media yang menurut Fagin (profesor jurnalisme di New York University) kini "banyak sekali yang sangat buruk hanya untuk mengejar hits".
Di dunia maya, seyogianya media hadir membawa kebenaran obyektif di tengah keriuhan informasi yang serba tidak pasti di media sosial. Seiring dengan banjirnya data/informasi di internet yang kerap disebut big data telah memicu perkembangan alat (media) untuk menganalisis dan menafsirkan data/informasi.
Media memiliki peranan sangat penting bagi masyarakat. Media harus menyampaikan cinta dan kebenaran. Demikian pula Ilham Khoiri (harian Kompas) menyebutkan bahwa media yang baik adalah media yang memiliki watak untuk mencerahkan publik. Oleh karena itu, kehadiran media dan jurnalisme yang baik masih sangat dibutuhkan. Internet tidak akan pernah membunuh jurnalisme, justru menyempurnakan jurnalisme.
Bagaimana rupa jurnalisme masa depan, terutama di Indonesia? Apa yang terjadi pada profesi wartawan dan media? Bahkan lebih mendasar, apakah jurnalisme masih akan tetap ada?
Seperti dikutip dari kompas.com Sejumlah jurnalis dan pengajar jurnalisme yang hadir dalam WCSJ 2015 mengungkapkan bahwa dengan adanya banyak data sekaligus pelatihan mengolah data, jurnalisme data akan dan harus berkembang di semua negara.
Jurnalisme data menjadi lebih sophisticated seiring dengan banjirnya data di internet kerap disebut big data, yang memicu perkembangan tools untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Analisisnya akan bergantung pada kejelian terhadap angka dan kemahiran menggunakan tools pada komputer.
Steve Doig (Knight Chair in Journalism, ahli di bidang Computer-asisted reporting) percaya bahwa jurnalisme berbasis data memungkinan jurnalis untuk melampaui berbagai anekdot dan menyandarkan liputannya pada fakta dan bukti. Menggunakan data untuk melakukan peliputan, seseorang bisa melihat titik terbaik—hal paling ilustratif dari cerita tertentu.
Jurnalisme data memberikan banyak peluang mulai dari pencarian berita, investigasi, hingga penyajian berita yang lebih kreatif interaktif. Salah satu contohnya adalah laporan berjudul "Do No Harm" yang dilakukan Las Vegas Sun. Tahun 2010, Las Vegas Sun menelaah lebih dari 2,9 juta data billing rumah sakit. Dari proses itu, terkuak lebih dari 3.600 data cedera yang bisa dicegah, infeksi, serta kesalahan dalam proses operasi. Dari data tersebut, Las Vegas Sun mengungkap fakta mencengangkan tentang kesalahan tindakan di rumah sakit. Ada lebih dari 300 kasus di mana pasien meninggal akibat kesalahan tindakan yang sebenarnya bisa dicegah.
Jurnalisme data bukan hanya berguna untuk peliputan sains dan teknologi, melainkan juga kasus kriminal maupun korupsi. Kualitas dan larisnya berita pada masa depan tak cuma bergantung pada kemampuan wartawan mengejar narasumber dan mendapatkan kutipan nendang, tetapi juga kejelian membaca data dan kemahiran menggunakan komputer dengan tools pintarnya untuk mendapatkan fakta wow dari data.
Apakah jurnalisme data itu akan menjadi tren di masa depan?
Referensi:
- Yunanto Wiji Utomo. 2015. "Statistika, Komputer, dan Jurnalisme Masa Depan". Kompas.com.
- Jaring. 2016. "Merencanakan Liputan Jurnalistik Berbasis Data". www.jaring.id
- Heru Margianto. 2016. "Apakah Internet Membunuh Jurnalisme?". Kompas.com
Comments
Post a Comment