Yang liar. Dan berdarah.
: Erie Prasetyo
KITA sedang sakit. Hidup hanya dari sakit ke sakit.
Menyesali banyak kesalahan yang semakin benar.
Itu misalnya, pernah kau tuliskan dalam daftar seratus
hal yang kau inginkan, dan seratus hal lain yang tidak
kau kehendaki. Kau tak tahu di mana kau sepatutnya
menuliskan 'Bali' di daftar itu, sebab sesuatu yang amat
buruk dan juga amat berarti berawal dan berakhir di situ.
*
Kita pelihara lapar dan marah. Yang liar. Dan berdarah.
Keduanya kini bisa bernama Puisi. Kau menuliskannya
kini di antara waktu luang, dalam perjalanan kota ke kota,
di sela-sela tur sangat panjang, sebuah kelompok musik,
yang jatuh dan bangkit bersamamu. Puisi yang, katamu,
kini sabar menyabarkan, menjinakkan, membebat luka-luka,
yang dulu menutup-membuka di tempat-tempat yang sama.
*
Kita telah terbiasa sakit, dengan rasa sakit kita ini.
Hingga kau tak lagi mau tertipu, surga yang menipu,
kau beritahukan parut luka kecil di lipatan lenganmu.
Kau bilang, "Empat tahun lamanya, aku berjalan di
muka bumi, tapi saat itu aku tak sedang ada di dunia."
Dan dunia hanya gelap, menjauh darimu, menyempit.
*
Kita sedang menyembuhkan sakit kita sendiri. Sendiri.
Dengan harapan yang sederhana: nanti cinta yang
menata bata, sebongkah-sebongkah, hingga tegak
sebentang dinding ingatan, bayangan meneduhkan.
Aku melihat tiga bidadari di punggungmu. Dengan
tiga bentang sayap. Yang sabar menjaga mimpimu.
Saat kau memeluk mereka, satu per satu, mereka
dengan bangga membaca, nama-nama mereka
berbaris indah, di sepanjang lengan kananmu.
#sejuta-puisi
KITA sedang sakit. Hidup hanya dari sakit ke sakit.
Menyesali banyak kesalahan yang semakin benar.
Itu misalnya, pernah kau tuliskan dalam daftar seratus
hal yang kau inginkan, dan seratus hal lain yang tidak
kau kehendaki. Kau tak tahu di mana kau sepatutnya
menuliskan 'Bali' di daftar itu, sebab sesuatu yang amat
buruk dan juga amat berarti berawal dan berakhir di situ.
*
Kita pelihara lapar dan marah. Yang liar. Dan berdarah.
Keduanya kini bisa bernama Puisi. Kau menuliskannya
kini di antara waktu luang, dalam perjalanan kota ke kota,
di sela-sela tur sangat panjang, sebuah kelompok musik,
yang jatuh dan bangkit bersamamu. Puisi yang, katamu,
kini sabar menyabarkan, menjinakkan, membebat luka-luka,
yang dulu menutup-membuka di tempat-tempat yang sama.
*
Kita telah terbiasa sakit, dengan rasa sakit kita ini.
Hingga kau tak lagi mau tertipu, surga yang menipu,
kau beritahukan parut luka kecil di lipatan lenganmu.
Kau bilang, "Empat tahun lamanya, aku berjalan di
muka bumi, tapi saat itu aku tak sedang ada di dunia."
Dan dunia hanya gelap, menjauh darimu, menyempit.
*
Kita sedang menyembuhkan sakit kita sendiri. Sendiri.
Dengan harapan yang sederhana: nanti cinta yang
menata bata, sebongkah-sebongkah, hingga tegak
sebentang dinding ingatan, bayangan meneduhkan.
Aku melihat tiga bidadari di punggungmu. Dengan
tiga bentang sayap. Yang sabar menjaga mimpimu.
Saat kau memeluk mereka, satu per satu, mereka
dengan bangga membaca, nama-nama mereka
berbaris indah, di sepanjang lengan kananmu.
#sejuta-puisi
Comments
Post a Comment