Lapar dalam kesendirian
Senja sore nan tidak biru, ku lihat warna langit di belakang rumah kontrakan tetap saja tidak berubah. Ketika dipandang langsung maupun melalui jendela tanpa kaca (sama saja kali hihihi…) Senja yang datar, pikirku! Aneh, dan tiba-tiba rasa perutku kruyuk-kruyuk setelah tadi sempat membaca synopsis novel lapar, terjerat dalam sebuah riwayat.
Aku harus segera mengisi perut!!! Tekad ku, dan aku masih terkesima memandangi cuaca. Ini awal musim penghujan, mungkin. Satu dua tiga hari terakhir ini mendung terus bermunculan, setidaknya di sore dan pagi hari. Bahkan, sekarang gemuruh rintik-rintik sudah terdengar mematok-matok atap seng rumah kontrakan baru ku.
Aku mencari-cari sesuatu di rumah ini, di kamar ini, untuk mengisi kekosongan perut, namun tak satu pun kutemukan. Ingatanku terus berkontruksi berkomposisi, mengingat-ingat bahwa di dalam rumah ini, di kamar ini ada sesuatu yang bisa di jadikan santapan di sore hari.. kesana kemari ku mencari-cari bahkan kucoba meminta kompi700-ku untuk mencari, searching dengan keyword “kripik balado pemberian tetangga sebelah rumah” loading… “search is complete, There are no results to eating” Huwaaa…
Aku yakin kripik itu masih setengah kantong disini! Tapi??? Kemana ianya pergi???
Dalam rahim ku sendiri, dalam kubur sendiri pula, akankah sekarang ku juga sendiri? Hingga kripik balado itu meninggalkan ku? Ck ck ck…
Tiba-tiba pikiranku berkelebat lalu lewat ke suasana-suasana aneh, dejavu ke masa lalu. Kala sore yang layu seperti ini, dahulu teman-teman biasa datang menyelimuti. Tempatku berdiam merupakan sebuah markas besar anak muda pantai utara khatulistiwa yang kehilangan arah hidup, mencoba mencari jalan dari sesama pejalan, yang mungkin sama-sama tersesat atau mungkin sengaja menyesatkan diri. Untuk mempertahankan peta kehidupannya..
Ingatan yang paling menawan adalah ketika sore-sore begini mereka datang, membuatku tersentak terbangun dari siesta tidur sore. Perut yang sebah bukan karena kekeyangan lalu ketiduran, tapi kelaparan dan dehidrasi karena kekurangan air minum. Dan rasa lapar itulah yang menidurkanku dan beberapa orang teman. Kondisi yang berlawanan dengan keadaan saat ini kadang membuatku tersenyum sendiri.
Kadang ada satu rasa yang sama, sense agak sedikit kembung dan rasa pahit menguasai mulut. Kuingat, masa itu adalah era sunset kami, ketika teman-teman datang hanya ketika kesulitan saja, kekurangan ransum dan uang sekadar untuk makan. Teman sekomunitasku rata-rata sudah minim atau bahkan tidak disupport dana dari kampung halaman, jadi sebisa mungkin mereka mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup, dan jika terpaksa mereka mesti bersandar dari siapa saja yang mereka kenal. Siapa saja yang mereka tidak malu untuk meminta bantuan.
Dengan langkah khas orang kelaparan mereka datang... Sebenarnya aku ingin mendefinisikan lebih rinci postur dan gesture mereka. Namun, ada baiknya kita coba membaca novel Lapar bikinan Knut Hamsun.
Katanya, dan menurut beberapa artikel yang kubaca, paparan-paparan Hamsun dalam novel yang edisi Indonesia sangat representatif untuk menggambarkan kondisi fisik dan psikologis kami saat itu, orang-orang yang terbiasa lapar. Lapar bukan karena kami miskin dan tak berdaya atau fakir. Kami hanya seperti tokoh dalam novel tersebut, kami orang-orang yang mengecap pendidikan lumayan tinggi, kami punya mimpi-mimpi besar, kami ingin berkarya untuk mengguncang dunia, dan kami ingin jadi orang berguna dan bahagia. Namun keadaan membuat kami masih harus sesekali bahkan sering menghadapi kelaparan. Memang tidak selalu lapar, sebab sesekali kami, atau khususnya aku (sebab aku tak tahu pasti teman-teman yang lain) kadang memperoleh rezeki yang lumayan untuk hidup sederhana apa adanya dalam beberapa hari kedepan.
Beberapa pohon jambu yang tertanam didepan rumah kontrakan kala itu kadang bisa dipanen dan dijual, lumayan lah untuk bertahan hidup hingga lima hari kedepan, hihi.. Atau, kadang jadi tukang ojek para kupu-kupu malam ke tempat mereka hinggap yang kebetulan maminya adalah cs-an, yang ini bisa menghasilkan rezeki puluhan ribu, sebuah nominal yang cukup untuk makan mewah—ala mahasiswa—dengan aman. Namun problem bagi orang yang jarang pegang uang, adalah uang yang diperoleh dengan cepat akan cepat menguap pula entah kemana.
Mungkin kami lebih nyaman dan aman tanpa memiliki apa-apa he…
Aku harus segera mengisi perut!!! Tekad ku, dan aku masih terkesima memandangi cuaca. Ini awal musim penghujan, mungkin. Satu dua tiga hari terakhir ini mendung terus bermunculan, setidaknya di sore dan pagi hari. Bahkan, sekarang gemuruh rintik-rintik sudah terdengar mematok-matok atap seng rumah kontrakan baru ku.
Aku mencari-cari sesuatu di rumah ini, di kamar ini, untuk mengisi kekosongan perut, namun tak satu pun kutemukan. Ingatanku terus berkontruksi berkomposisi, mengingat-ingat bahwa di dalam rumah ini, di kamar ini ada sesuatu yang bisa di jadikan santapan di sore hari.. kesana kemari ku mencari-cari bahkan kucoba meminta kompi700-ku untuk mencari, searching dengan keyword “kripik balado pemberian tetangga sebelah rumah” loading… “search is complete, There are no results to eating” Huwaaa…
Aku yakin kripik itu masih setengah kantong disini! Tapi??? Kemana ianya pergi???
Dalam rahim ku sendiri, dalam kubur sendiri pula, akankah sekarang ku juga sendiri? Hingga kripik balado itu meninggalkan ku? Ck ck ck…
Tiba-tiba pikiranku berkelebat lalu lewat ke suasana-suasana aneh, dejavu ke masa lalu. Kala sore yang layu seperti ini, dahulu teman-teman biasa datang menyelimuti. Tempatku berdiam merupakan sebuah markas besar anak muda pantai utara khatulistiwa yang kehilangan arah hidup, mencoba mencari jalan dari sesama pejalan, yang mungkin sama-sama tersesat atau mungkin sengaja menyesatkan diri. Untuk mempertahankan peta kehidupannya..
Ingatan yang paling menawan adalah ketika sore-sore begini mereka datang, membuatku tersentak terbangun dari siesta tidur sore. Perut yang sebah bukan karena kekeyangan lalu ketiduran, tapi kelaparan dan dehidrasi karena kekurangan air minum. Dan rasa lapar itulah yang menidurkanku dan beberapa orang teman. Kondisi yang berlawanan dengan keadaan saat ini kadang membuatku tersenyum sendiri.
Kadang ada satu rasa yang sama, sense agak sedikit kembung dan rasa pahit menguasai mulut. Kuingat, masa itu adalah era sunset kami, ketika teman-teman datang hanya ketika kesulitan saja, kekurangan ransum dan uang sekadar untuk makan. Teman sekomunitasku rata-rata sudah minim atau bahkan tidak disupport dana dari kampung halaman, jadi sebisa mungkin mereka mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup, dan jika terpaksa mereka mesti bersandar dari siapa saja yang mereka kenal. Siapa saja yang mereka tidak malu untuk meminta bantuan.
Dengan langkah khas orang kelaparan mereka datang... Sebenarnya aku ingin mendefinisikan lebih rinci postur dan gesture mereka. Namun, ada baiknya kita coba membaca novel Lapar bikinan Knut Hamsun.
Katanya, dan menurut beberapa artikel yang kubaca, paparan-paparan Hamsun dalam novel yang edisi Indonesia sangat representatif untuk menggambarkan kondisi fisik dan psikologis kami saat itu, orang-orang yang terbiasa lapar. Lapar bukan karena kami miskin dan tak berdaya atau fakir. Kami hanya seperti tokoh dalam novel tersebut, kami orang-orang yang mengecap pendidikan lumayan tinggi, kami punya mimpi-mimpi besar, kami ingin berkarya untuk mengguncang dunia, dan kami ingin jadi orang berguna dan bahagia. Namun keadaan membuat kami masih harus sesekali bahkan sering menghadapi kelaparan. Memang tidak selalu lapar, sebab sesekali kami, atau khususnya aku (sebab aku tak tahu pasti teman-teman yang lain) kadang memperoleh rezeki yang lumayan untuk hidup sederhana apa adanya dalam beberapa hari kedepan.
Beberapa pohon jambu yang tertanam didepan rumah kontrakan kala itu kadang bisa dipanen dan dijual, lumayan lah untuk bertahan hidup hingga lima hari kedepan, hihi.. Atau, kadang jadi tukang ojek para kupu-kupu malam ke tempat mereka hinggap yang kebetulan maminya adalah cs-an, yang ini bisa menghasilkan rezeki puluhan ribu, sebuah nominal yang cukup untuk makan mewah—ala mahasiswa—dengan aman. Namun problem bagi orang yang jarang pegang uang, adalah uang yang diperoleh dengan cepat akan cepat menguap pula entah kemana.
Mungkin kami lebih nyaman dan aman tanpa memiliki apa-apa he…
klu sendiri memang ga enak bg...
ReplyDeleteoya.. aku mau nanya ni...
bahasa online itu apa ya???
mnurut sobat apakah kita blogger indonesia tlah mnggunakan bahasa indonesia yg baik dan bnar ukt aktivitas blogging???
da rame in bang yang membicarakan hal ini di blog ku http://lombablogbahasa.blogspot.com
Siip... karya yang bagus
ReplyDelete